6/16/2016

PEMERINTAH GAGAL MELAKSANAKAN UNDANG-UNDANG GURU DAN DOSEN

Pemerintah Gagal Melaksanakan UU Guru dan Dosen
Pemerintah dan pemerintah daerah terindikasi gagal dalam melaksanakan amanah Undang-Undang Nomor 14 Tahun2015 tentang Guru dan Dosen (UUGD). Banyak pasal yang sangat penting tidak dapat dilaksanakan dengan baik, terutama dalam mewujudkan guru yang profesional, sejahtera, dan terlindungi.
Dalam rangka mewujudkan guru profesional, seharusnya paling lambat sepuluh tahun sejak UUGD tersebut disahkan (tahun 2015) guru sudah harus berkualifikasi pendidikan S1 atau D 4 dan telah bersertifikat pendidik (Pasal 82 ayat (2). Tetapi sampai sekarang masih sekitar 40% guru kualifikasi pendidikannya belum S1 atau D4 dan masih sekitar 45 % guru belum bersertifikat pendidik.
Peserta didik berpotensi mendapat layanan yang tidak adil dari kondisi guru yang sangat heterogen. Guru juga merasa diperlakukan diskriminatif. Karena kualifikasi pendidikan maupun sertifikasi (yang harus dibiayai pemerintah dan atau pemerintah daerah) berimplikasi juga pada diterimanya tunjangan profesi.
Pendidikan dan pelatihan guru pun tidak jelas dan tidak merata. Tahun 2013 lalu ada pelatihan guru massal yang dilaksanakan dalam kaitan pelaksanaan kurikulum 2013, bukan didesain untuk peningkatan kompetensi guru. Masih banyak guru yang belum pernah memperoleh pendidikn dan pelatihan.
Sekarang malah kebijakan Kemdikbud semakin tidak jelas. Tidak ada tanda-tanda amanat itu diselesaikan, rencananya saja tidak jelas, apa lagi pelaksanaannya.
Di lihat dari kesejahteraannya, hak-hak guru banyak yang tidak dapat dipenuhi (Pasal 14). Misalnya, pada ayat (1) huruf a Guru seharusnya memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimal dan memperoleh jaminan kesejahteraan sosial, tetapi sampai saat ini jutaan guru yang bekerja penuh waktu, dengan prestasi dan dedikasi yang tinggi, sesuai peraturan perundang-undangan, memperoleh penghasilan yang sangat tidak manusiawi. Banyak guru berpenghasilan sekitar Rp 250.000,00 (dua ratus lima puluh ribu rupiah) per bulan. "Sungguh tidak manusiawi, bahkan dholim".
Guru-guru itu mestinya berhak memperoleh penghasilan sesuai peraturan perundang-undangan (Pasal 15), tetapi nyatanya aturanya saja tidak dibuat. "Buruh dan pekerja prabik malah sudah diatur penghasilan minimalnya". Bagimana mutu pendidikan bisa beranjak naik. Mendikbud pernah mengatakan guru (honorer) akan memperoleh penghasilan minimal. Tetapi itu juga baru omong doang.
Pembayaran tunjangan fungsional, terutama bagi guru non-PNS tidak jelas polanya. Bahkan banyak yang tidak menerima. Pembayaran TPG (tunjangan profesi guru). Tahun ini justru lebih jelek dari tahun-tahun sebelumnya. Sampai bulan Juni ini masih banyak guru yg telah bersertifkat penidik belum menerima TPG. Kemdikbud sering saling lempar dan saling menyalahkan dengan pemerintah daerah.
Dalam pedoman pembayaran TPG Kemdikbud nampak semakin mempersulit guru memperoleh TPG. "Tidak masuk 1 hari saja, walau karena sakit sangat keras, guru tetap tidak memperoleh TPG". Ada guru di Bekasi, sudah meninggal saja masih diminta mengembalikan TPG yang telah diterimanya. 

Pejabat di Kemdikbud nampaknya ada yang sangat senang jika guru gagal memperoleh TPG. Banyak usaha yang dilakukan oknum di Kemdikbud untuk menghambat guru memperoleh TPG. Pejabat itu bahkan dipuji berprestasi jika bisa "menghemat" uang TPG.
Sekarang guru disibukan mengurusi tugas-tugas administratif, sulitlah mereka mengembangkan kompetensi dirinya. Bahkan, guru terancam tidak bisa naik pangkat karena aturan yang dibuat kementrian sangat aneh dan jauh dari kepentingan terwujudya tugas pokok guru.
Kaitannya dengan perlindungan hukum bagi guru yang diatur pada Pasal 39, belum dilaksanakan sama sekali. Peraturannya pun tidak ada. Akibatnya banyak guru yang teraniaya, dipindah sewenang-wenang, diturunkan jabatan dan pangkatnya, dan seterusnya.
PGRI berharap agar pemerintah, terlebih Kemdikbud, melakukan langkah-langkah yang jelas dan terukur agar UUGD tersebut bisa dilaksanakan dengan baik. Ini masih ada waktu sekitar 6 bulan sampai Desember 2015. "Seyogyanya, program dan kegiatan yang untuk pencitraan dikurangi, kami sudah bosan".
source : pgri.or.id

Previous Post
Next Post

0 komentar: