8/08/2016

PILKADA SEHARUSNYA TIDAK BERPENGARUH PADA KARIR GURU



Pertarungan politik di sejumlah daerah turut memengaruhi formasi guru. Usai pemilihan kepala daerah dan pemilihan anggota legislatif, biasanya diikuti dengan beredarnya surat keputusan mutasi guru. Guru berada pada posisi yang sangat rentan dan dilematis.

Kegelisahan itu diungkapkan oleh seorang peserta Training of Trainers (ToT) Sistem Pendataan Pendidikan Dasar  angkatan IV di Hotel New Ayuda, Cipayung, Bogor, Jawa Barat, Selasa malam, 7 April 2015. Ia berharap Pemerintah Pusat memupus fenomena tersebut melalui regulasi yang berpihak pada guru.

Menjawab pertanyaan itu, Tagor Alamsyah Harahap, Kepala Seksi Penyusunan Program Sub Direktorat Program dan Evaluasi, Direktorat Pembinaan Pendidik dan Tenaga Kependidikan Pendidikan Dasar, mengatakan, fenomena tersebut memang sulit dihindari. Sebab, kewenangan pengaturan guru masih dipegang Pemerintah Daerah.

Situasi tak mengenakkan itu, tambah Tagor yang menjadi narasumber ToT, turut memengaruhi sistem karier guru. “Dalam sistem karier kita, semua guru disiapkan untuk menjadi kepala sekolah,” ucapnya. Jika tiap usai pilkada formasi guru diubah, pola pembinaan karier guru pun akan berdampak tidak baik.

Guru pertama, golongan III A dan III B, diarahkan untuk memiliki kompetensi bagaimana meningkatkan kualitas diri sendiri. Lalu, pada guru muda, golongan III C dan III D, harus punya kompetensi mengembangkan peserta didik. “Ketika di level guru madya, mereka punya kompetensi bagaimana mengelola satuan pendidikan,” ungkapnya. “Di situlah mereka sudah harus siap menjadi kepala sekolah.”

Jika jenjang karier itu terganggu, misalnya tak ada kepala sekolah yang dimutasi padahal sudah waktunya, maka jenjang karier guru akan macet. Kepala sekolah hanya boleh menjabat dua periode. Jika masih ingin menjabat, maka ia pindah ke sekolah yang predikatnya lebih rendah.

Tagor berharap Kementerian Dalam Negeri turut ambil bagian dalam hal penataan guru. Hal itu bisa dilakukan dengan memberi sanksi kepada kepala daerah yang tidak melakukan penataan dan pemerataan guru.Sumber

 
==========================================================

GURU DAN POLITIK
Komunitas guru yang begitu banyak menjadi sasaran para politikus untuk menarik simpati, jargon kampanye tentang guru dan pendidikan selalu menghiasi pesan-pesan yang disampaikan oleh politikus, tidak terkecuali pada pemilihan legislatif 2014 mendatang.  Mengapa guru selalu menjadi obyek politik? Berikut beberapa poin yang membuat guru dan pendidikan selalu menjadi obyek :
 
1. Jumlah guru yang sangat banyak diantara semua profesi
2. Pengaruh guru dilingkungan sosial.
3. Kebutuhan pendidikan untuk anak
 
Berdasarkan 3 poin tersebut, sebenarnya guru dapat mempengaruhi kebijakan dan demokrasi di Indonesia, namun karena disatu sisi guru juga merupakan komunitas profesi yang terlemah dari semua profesi sehingga setiap kebijakan yang berhubungan dengan guru dan pendidikan selalu tidak sesuai harapan guru.

Ada banyak organisasi yang mengatasnamakan guru mulai dari PGRI, IGI, FGRI dan lain sebagainya baik bersifat nasional maupun bersifat lokal termasuk organisasi guru mata pelajaran. Dengan banyaknya organisasi guru tersebut seharusnya membuat guru dan dunia pendidikan menjadi lebih berkualitas, produk hukum juga berpihak pada guru dan pendidikan. Akan tetapi pada kenyataannya justru sebaliknya, dengan banyaknya organisasi guru menjadikan profesi guru menjadi profesi yang tidak dapat ambil bagian dalam menentukan kebijakan tentang guru dan dunia pendidikan akibat dari perbedaan dan egoisme masing-masing organisasi.

Beberapa kelemahan guru dan pendidikan dalam dunia politik :
1. Guru tidak memiliki wakil di parlemen
2. Organisasi guru tidak satu dalam memperjuangkan kepentingan guru bahkan cenderung terdapat persaingan antara organisasi tersebut.
3. Adanya doktrin politik yang menyatakan bahwa guru adalah pendidik sehingga dalam menyampaikan keinginannya harus dengan cara-cara terdidik sementara di Indonesia sampai saat ini menganut sistem manajemen konflik "Ada masalah baru diperhatikan".
4. Pemikiran guru dikurung dengan istilah "Profesi Mulia", "Pahlawan tanpa tanda jasa", "Relawan Pendidikan" dan lain sebagainya.
5. Kebijakan tentang pendidikan terlalu terpusat sehingga guru hanyalah sebagai pelaksana dan pekerja
6. Tidak adanya aturan yang dapat melindungi guru dalam menjalankan tugas
7. dll
 
Dari beberapa kelemahan guru dan pendidikan tersebut sehingga setiap produk hukum yang membahas tentang guru dan pendidikan selalu menemui hambatan dan produk hukum tentang guru dan pendidikan umumnya tidak berpihak kepada guru dan pendidikan itu sendiri. Contoh, kesejahteraan guru yang dibungkus dengan nama sertifikasi. Jika program sertifikasi ingin disebut berpihak kepada guru maka pembayarannya harus menyatu dengan gaji.

Dengan demikian selama guru dan pendidikan masih didominasi oleh kepentingan politik maka kualitas pendidikan yang lebih baik sangat sulit untuk diwujudkan. Perubahan paradigma guru dan pendidikan harus dimulai dari sekarang, guru dan pendidikan harus berdiri sendiri secara independen, posisi pemerintah atas guru dan pendidikan dirubah hanya sebagai fasilitator dan mediator tetapi kebijakan dan urusan guru dan pendidikan diserahkan kepada dunia pendidikan itu sendiri misalnya memberikan kewenangan penuh kepada dewan pendidikan dan dewan pakar pendidikan untuk membuat regulasi dan kebijakan terkait dunia guru dan pendidikan.Sumber
 
Previous Post
Next Post

0 komentar: