8/06/2016

REFLEKSI GURU,MENJADI GURUNYA MANUSIA

Guru adalah arsitek peradaban. Begitulah salah satu pepatah penting yang melekat pada guru (sang pembangun insan cendekia). Keberhasilan seorang guru adalah ketika telah berhasil memberikan hati dan kepribadiannya dalam mendidik siswa-siswinya. Jamil Azzaeni pernah mengatakan “Jika pengalaman adalah salah satu GURU terbaik. Maka, menjadi seorang GURU adalah salah satu pengalaman terbaik”. Karena melalui peran gurulah yang mengantarkan putra putri generasi penerus bangsa berani bercita-cita hingga berhasil mencapai impiannya tersebut. Tapi, sudahkah mereka menjadi guru yang terbaik bagi peserta didiknya? Karena tugas seorang guru bukan hanya sekedar mengajar materi dari ‘tidak tahu’ menjadi ‘tahu’. Mendidik karakter, membimbing dengan penuh kasih sayang, dan membina peserta didik dengan penuh ketulusan juga merupakan tugas dari seorang guru.

Apa yang akan terjadi jika sekolah menjadi tempat yang menakutkan bagi siswanya? Jika ada siswa yang salah, maka harus dipukul dengan rotan. Jika ada siswa yang mendapat nilai jelek, juga harus dipukul dengan rotan. Siswa membolos, maka hukumannnya adalah pukulan rotan. Siswanya dicap pahe (keras kepala), bodoh, nakal, atau bandel. Yang paling kacau adalah jika ada guru yang dikenal galaknya dan suka menghukum siswanya. Sementara guru tersebut jarang masuk kelas mengajar. Terkadang siswa tersebut ada yang menangis karena mendapat pukulan. Apakah boleh, guru memukul siswanya dengan rotan? Tentunya tindakan guru tersebut pasti ada alasannya, mungkin siswanya bandel, kurang disiplin, dan sebagainya. Tapi, apakah hukuman itu harus dengan pukulan? Karena pukulan tentunya akan berdampak pada kondisi psikologis siswa. Apakah semua masalah siswa harus diselesaikan dengan rotan? Tak peduli siswa yang salah atau sebenarnya guru tersebut yang salah. Padahal rotan tak selamanya menjadi senjata yang menakutkan bagi siswa, tapi rotan bisa menjadi emas jika guru bisa mengelola siswa dengan baik dan benar. Disinilah perlunya guru melakukan refleksi. Sudahkah mengajar dan mendidik peserta didiknya dengan penuh cinta dan kasih sayang?

Munif Chatib dalam bukunya yang berjudul Gurunya Manusia, mengelompokkan guru menjadi tiga jenis dilihat dari faktor kemauan untuk maju, yaitu guru robot, guru materialistis dan gurunya manusia. Pertama, Guru Robot, yaitu guru yang bekerja persis seperti robot. Mereka hanya masuk kelas, mengajar, lalu pulang. Mereka hanya peduli pada beban materi yang harus disampaikan kepada siswa. Mereka tak punya kepedulian terhadap kesulitan siswa dalam menerima materi, apalagi kepedulian terhadap masalah sesama guru dan sekolah pada umumnya. Mereka tidak peduli dan mirip robot yang selalu menjalankan perintah sesuai program yang sudah disusun. Kedua, Guru Materialistis, yaitu guru yang selalu melakukan perhitungan, mirip dengan aktivitas bisnis jual-beli. Parahnya, yang dijadikan patokan adalah hak yang mereka terima, barulah kewajiban mereka akan dilaksanakan sesuai hak yang mereka terima. Pada awalnya, guru merasa professional, tetapi pada akhirnya akan terjebak dalam kesombongan dalam bekerja sehingga tidak tampak manfaatnya dalam bekerja. Ketiga, Gurunya Manusia, yaitu guru yang punya keikhlasan dalam mengajar dan belajar. Guru yang punya keyakinan bahwa target pekerjaannya adalah membuat para siswa berhasil memahami materi-materi yang diajarkan. Guru yang ikhlas, akan berintrospeksi apabila ada siswa yang tidak memahami materi ajar. Guru yang berusaha meluangkan waktu untuk belajar sebab mereka sadar, profesi guru tidak boleh berhenti untuk belajar. Guru yang keinginannya kuat dan serius ketika mengikuti pelatihan dan pengembangan kompetensi.

Begitulah pendapat Munif Chatib mengenai guru robot, guru materialistis dan gurunya manusia. Dimanakah posisi kita? Jawabannya ada di hati masing-masing guru. Semoga semua guru senantiasa melakukan refleksi diri dalam menjalankan tugasnya mencerdaskan kehidupan bangsa. Evaluasi diri dan perbaiki diri dengan senantiasa meningkatkan kompetensi dan profesionalitas dalam mengemban amanahnya tersebut. Refleksi diri agar bisa menjadi Gurunya Manusia. Jangan jadi guru, jika tak mau mengajar. Jangan jadi guru, jika malas datang ke sekolah. Sekali masuk, kasih buku ke siswa, ditinggal, lalu masuk kantor dan pulang. Berangkat telat, dan pulang lebih awal. Semoga tidak ada lagi guru yang bertipe seperti itu. Karena jika ada, pasti yang rugi adalah siswanya, sekolahnya dan tentunya citra guru itu sendiri. Sekali lagi jika tak siap menjadi guru, mending alih profesi lain. Kasih kesempatan itu kepada orang lain yang sanggup dan lebih bisa mengemban amanah sebagai guru. Karena menjadi guru itu butuh tekad, ketulusan hati dan komitmen yang tinggi dalam membimbing para peserta didiknya. Karena guru menjadi kunci utama penentu keberhasilan pendidikan di negeri ini. Kalau bukan guru, siapa lagi? Bahagialah menjadi guru, karena setiap langkahnya menjadi amal yang mulia. Bangga jadi guru. Guru berkarakter, menggenggam Indonesia.
Oleh : In Amullah, S.Si (Relawan Pendidikan Sekolah Guru Indonesia – Halmahera Utara/ kang.amroelz@gmail.com)Sumber

Previous Post
Next Post

0 komentar: