2/11/2016

SEMESTINYA PGRI DAN PEMERINTAH TETAP DALAM SATU JALUR

Asalamu'alaikum wr.wb. selamat pagi dan salam sejahtera untuk kita semua....
mari simak informasi  berikut ini....

Sukses bidang pendidikan pada 2016 ini akan bergantung pada kemampuan pemerintah dan pihak-pihak terkait dalam menjadikan masa lalu sebagai penghidup masa depan. Bukan sebaliknya, masa lalu yang membunuh masa depan. 

Pemerintah, organisasi keguruan, dan individu harus mampu belajar dari pengalaman pahit dan manis pada 2015. Akhir 2015 dunia pendidikan ditandai dengan friksi antara organisasi guru terbesar yaitu PGRI dan pemerintah. Hal ini cukup mengejutkan karena semestinya keduanya berjalan seiring sejalan dalam agenda peningkatan kualitas pendidikan yang semakin baik, khususnya guru yang jumlahnya hampir 3 juta orang. 


Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Anies Baswedan melarang guru-guru di berbagai daerah ikut perayaan HUT Ke-70 PGRI di GBK, 13 Desember 2015. Alih-alih mematuhi larangan itu, guru-guru tetap datang ke Jakarta hingga berjumlah sekitar 100.000 guru dari berbagai daerah. Ini melebihi kapasitas GBK yang berkapasitas 88.306 orang. 

Respons Pemerintah 

Tentu hanya Yuddy Chrisnandi dan Anies Baswedan yang tahu pasti apa alasan larangan tersebut. Tetapi, jika merunut ke belakang, bisa jadi ini terkait eksistensi guru honorer yang nasibnya belum jelas, bahkan terombangambing. Guru honorer menuntut pemerintah dan DPR segera mengangkat mereka menjadi CPNS, sebagaimana janji pemerintah sebelumnya. 

Akhir-akhir ini guru honorer semakin sering melakukan demo besar-besaran menuntut hak mereka. Kecuali itu, mungkin pemerintah menilai PGRI selama ini terlalu kritis terhadap pemerintah. Suara PGRI sering berseberangan dengan kebijakan pemerintah. Misalnya, kebijakan UKG pada 2015 ini. PGRI menilai UKG tidak akan efektif karena hasil UKG pada periode 2012 sebagai contoh tidak pernah ditindaklanjuti dengan pelatihan. Konflik antara PGRI dan wakil pemerintah berlanjut dengan tidak hadirnya dua menteri tersebut di GBK. 

Terlepas diundang atau tidak diundang, yang pasti ada masalah komunikasi di antara mereka. Presiden pun tidak hadir dan hanya diwakili oleh Puan Maharani, menteri koordinator bidang pembangunan manusia dan kebudayaan. Komitmen pemerintah terhadap guru pun dipertanyakan. Respons kekecewaan pemerintah terhadap PGRI sangatlah tidak dewasa, emosional, dan terkesan terburuburu, tanpa pemikiran yang matang. 

Seharusnya pemerintah memberi contoh yang baik dalam mengambil kebijakan. Larangan itu tidak menyelesaikan masalah yang ada antara keduanya, tetapi menimbulkan masalah baru. Pemerintah bertanggung jawab segera menghentikan friksi ini sehingga keduanya bisa bersama-sama melakukan kerja produktif untuk kebaikan guru pada masa datang. Jika tidak, komitmen pemerintah dalam mengurai masalah pendidikan yang sangat kompleks, khususnya guru, patut diragukan. 

Sikap positif dilakukan Anies yaitu menghadiri HGN dan HUT Ke-70 PGRI, 19 Desember 2015 di Kabupaten Banyuwangi. Sikap dua kementerian itu tidak seharusnya terjadi karena PGRI adalah mitra pemerintah. Program pemerintah terkait guru akan berjalan lebih baik jika melibatkan PGRI karena ia memahami tentang kondisi dan masalah-masalah guru. 

PGRI yang memiliki cabang hampir di seluruh kepulauan Nusantara merupakan mitra yang potensial bagi pemerintah pusat maupun daerah. Berdasarkan data Maret 2014, kepengurusan PGRI terdapat di 33 provinsi, 350 kabupaten/ kota, 4126 kecamatan, dan 68.139 desa. Terdapat 1,6 juta orang anggota PGRI. Mengikuti perayaan HUT PGRI tidak akan mengurangi citra guru profesional– sebagaimana disampaikan pemerintah. Sebaliknya, salah satu ciri guru profesional adalah keikutsertaan guru dalam organisasi profesi, sebagaimana diamanahkan regulasi. 

Organisasi profesi adalah wadah pengembangan kompetensi guru, sekaligus tempat guru menyampaikan, menghimpun, dan mencarikan jawaban masalah-masalah terkait keguruan, baik internal maupun eksternal. 

Sikap Guru 

Kasus di atas menimbulkan kekecewaan guru-guru dari berbagai daerah yang hadir di GBK. Akibatnya, saat Puan Maharani membacakan sambutan Presiden, berkalikali guru meneriakinya. Ia bahkan sampai meminta persetujuan hadirin untuk melanjutkan sambutan atau tidak karena kesal. Meski Puan seorang menteri dan hadir mewakili Presiden, guru seolah memandangnya bukan very very important person–sebagaimana biasanya seorang menteri hadir dalam sebuah acara. 

Secara spontan, guru-guru meluapkan kekecewaannya dengan cara berteriak di hadapan pejabat pemerintah, dalam hal ini Puan. Sikap para guru itu sangat disayangkan karena menunjukkan sikap tidak dewasa dalam menghadapi masalah. Guru seharusnya mampu menahan amarah mereka meski persoalan yang dihadapinya tidaklah ringan. Memberi kesempatan orang bicara dan mendengarkannya dengan baik merupakan karakter baik.

Sikap sebaliknya, apa pun alasannya, adalah karakter buruk. Sebagai manusia, Puan pasti kecewa dengan hal tersebut. Tetapi, semoga ia memaklumi dan memaafkan para guru yang sudah tidak menghargainya. Sebagai menteri, ia punya kapasitas dan kewenangan untuk menyelesaikan persoalan guru. Tentu bukan sendirian. Dia bersama Anies Baswedan, Yuddy Chrisnandi, dan Mohamad Nasir duduk bersama untuk mengurai satu persatu permasalahan guru. 

Catatan lainnya buat guru adalah sampah bekas nasi kotak yang berserakan di halaman sekitar GBK. Kondisi ini bertentangan dengan apa yang selalu diajarkan guru di depan kelas dan di sekolah. Membuang sampah pada tempatnya dan kebersihan merupakan karakter dasar yang harus ditanamkan kepada siswa di sekolah. Hal ini tidak akan berhasil jika para guru sendiri tidak memberi contoh yang baik kepada siswa. 




Demikian informasi  yang dapat saya sampaikan.....
semoga bermanfaat.....







Previous Post
Next Post

0 komentar: