Siswa SD Inpres Desa Hulo Kecamatan Kahu, Kabupaten Bone, menyeberangi sungai dengan tali. Jembatan penghubung menuju sekolah hancur sejak dua tahun lalu. Foto: Rakyat Sulsel/JPNN
YANG dialami siswa di Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, ini sungguh membuat miris. Mereka menantang maut agar bisa belajar dengan baik.
------------------
PAGI baru menyapa Dusun Massaile, Desa Hulo, Kecamatan Kahu. Dua anak keluarga Umar Hatta, 35, mulai bersiap ke sekolah. Mereka adalah Novi Febriyanti, 11, yang duduk di kelas IV dan adiknya, Lutfi Setiawan, 8, siswa kelas II.
PAGI baru menyapa Dusun Massaile, Desa Hulo, Kecamatan Kahu. Dua anak keluarga Umar Hatta, 35, mulai bersiap ke sekolah. Mereka adalah Novi Febriyanti, 11, yang duduk di kelas IV dan adiknya, Lutfi Setiawan, 8, siswa kelas II.
Tempat keduanya menimba ilmu adalah SD Inpres 6/75 yang tidak jauh di belakang rumahnya. Namun, bukan urusan mudah bisa sampai di sekolah. Mereka harus melewati sungai dengan lebar 15 meter yang memisahkan rumah mereka dengan sekolah.
Tiga tahun lalu, dengan jalan santai, Novi dan adiknya bisa sampai di sekolah dalam 7–10 menit. Namun, sejak tiga tahun belakangan, anak-anak yang sekampung dengan mereka membutuhkan waktu ekstra ke sekolah. Paling tidak, mereka harus berangkat 30 menit sebelum bel masuk berdentang.
Kenapa? Sebab, jembatan di atas sungai tersebut putus. Hanya tersisa dua kawat sling baja yang terikat pada fondasi jembatan. Kawat berdiameter 2,5 cm itu terletak di atas dan di bawah. Dahulu bagian atas berfungsi sebagai pegangan saat melewati jembatan. Bagian bawah menjadi pengikat kayu untuk berpijak.
Kini hanya tersisa dua kawat untuk dilewati anak-anak. Supaya kawat itu tidak cepat putus, mereka harus bergantian saat menyeberang. Lima orang-lima orang.
”Untuk menyeberang, butuh waktu 5–10 menit. Biasanya, sepatu masih saya pakai. Kalau dilepas, sakit,” kata Novi.
Menggunakan alas kaki memang lebih nyaman. Tapi, bocah yang suka pelajaran IPA itu rentan terpeleset. Sol sepatu yang beradu dengan tanah tidak baik saat melewati kawat karena licin. Kalau sudah begitu, tangan-tangannya harus menggenggam lebih kuat dan berhenti sebentar untuk menyeimbangkan tubuh.
’’Pernah hampir jatuh karena terpeleset. Tapi, belum sampai jatuh,’’ imbuhnya.
Siswa lain yang harus menerjang bahaya layaknya Novi adalah Yazid, 12. Anak kelas VI SD itu juga berharap segera ada jembatan. Dia pernah hampir jatuh karena terpeleset.
Dia menyatakan bisa empat kali bergelantungan untuk menyeberang. Pertama, pergi dan pulang sekolah. Kedua, saat ada les pada sore. Kadang, intensitas itu ditambah karena harus bermain di seberang.
’’Sekarang enggak takut lagi. Sudah biasa,’’ kata Yazid dengan polosnya.
Umar selaku orang tua sebenarnya resah dengan keseharian anaknya yang menantang bahaya. Jatuh dari kawat, kaki bisa cedera parah terantuk batu. Tapi, dia tidak bisa berbuat banyak untuk mengantarkan anaknya ke sekolah. Setiap pagi dia harus kulakan ikan, lantas menjualnya di tempat lain.
”Dulu karena khawatir, saya gendong sampai seberang,’’ kenang Umar.
Hingga saat ini, memang masih ada orang tua yang menggendong anaknya sampai tepian. Tinggi air yang sekitar 45 cm cukup aman bagi orang tua. Tapi, kalau buat anak kecil, seragam mereka bisa basah kuyup.
Biasanya, para orang tua hanya menggendong saat berangkat sekolah. Untuk pulangnya, anak-anak yang tidak berani melewati kawat sling baja diperbolehkan orang tuanya melewati sungai karena arusnya tidak kencang. Tentu saja basah, tapi tidak apa-apa.
’’Kalau pulang, bisa dicuci lagi. Berangkatnya enggak boleh basah,’’ kata Umar.
Saat Jawa Pos mencoba menyeberangi sungai, banyak batu yang mudah membuat kaki terluka. Selain itu, ada beberapa titik yang cenderung lebih dalam. Ketika anak-anak itu menyeberang, semuanya kompak melepas sepatu. Sebab, alas kaki lebih lama kering daripada seragam sekolah.
Umar menambahkan, warga bukannya tidak berusaha memperbaiki. Sudah berkali-kali warga patungan untuk membuat jembatan baru. Terakhir, setiap kepala keluarga ditarik Rp 50 ribu. Lantaran yang terkumpul tidak sampai belasan juta rupiah, uang tersebut hanya bisa membangun jembatan seadanya.
’’Tiap musim hujan, airnya naik. Jembatan jadi rusak lagi,’’ terangnya.
Bagaimana kalau memutar? Umar menyebut sangat jauh. Jalan makadam membuat sepeda motornya tidak bisa bergerak lincah. Buruknya jalan membuat perjalanan ke sekolah bisa ditempuh sampai 1,5 jam.
Sama dengan Novi, dia berharap jembatan segera dibangun. Sebab, semangat anak-anak di kampungnya begitu tinggi. Novi, misalnya, suka menangis kalau tidak diizinkan sekolah saat air pasang. ’’Dia punya cita-cita jadi Polwan. Kasihan kalau terus seperti ini untuk belajar,’’ jelasnya.
Warga lainnya, Saka, 55, menyatakan sudah mengajukan permintaan kepada pemerintah daerah untuk perbaikan. Mereka semakin khawatir karena selalu ada cerita anak yang hampir jatuh. Supaya tidak ada yang benar-benar jatuh, jembatan harus diperbaiki. Dia yakin, kalau mau turun tangan, pemda pasti bisa membuat jembatan yang lebih layak.
’’Biasanya, anak perempuan yang hampir jatuh. Apalagi kalau kawatnya goyang-goyang kencang,’’ ungkapnya. Jembatan yang lebih kuat juga tidak perlu membuat anak-anak untuk pasang dan buka sepatu berkali-kali. Sebagian besar siswa harus melepas sepatu saat menyeberangi sungai.
Begitu sampai seberang, dipasang lagi sepatunya. Saat sampai sekolah, mereka harus melepas sepatu lagi supaya lumpur tidak mengotori kelas. Salah seorang guru SD, Marhuma, menekankan pentingnya memperbaiki jembatan supaya tidak ada korban lagi. Sebab, pernah ada salah seorang wali murid yang meninggal saat membantu anaknya menyeberangi sungai.
’’Tersangkut di kayu. Mamaknya (ibu, Red) meninggal. Anaknya bisa berenang,’’ terangnya. Warga yang tinggal di seberang sungai disebutnya cukup banyak karena mata pencaharian berupa sawah ada di sana.
Harapan agar jembatan segera diperbaiki direspons Pemkab Bone. Dinas pekerjaan umum dan sumber daya alam (SDA) sudah memulai rekonstruksi itu. Saat ini, ada beberapa tukang yang menggarap jembatan tersebut. Burhan selaku mandor menyebut jembatan bakal siap tiga bulan lagi.
Jembatan tersebut bakal tahan dari arus deras sungai saat musim hujan tiba. Sepenuhnya terbuat dari besi. Supaya lebih kuat, di sisi kiri dan kanan dibuat penahan berbentuk H. ’’Dari atas juga ada kawat sling lagi. Dibuat layaknya jembatan gantung,’’ terangnya.
Hasan Raga, babinsa setempat, menambahkan, pembangunan berlangsung sejak pertengahan April. Saat ini baru fondasi di sisi desa yang diperkuat. ’’Dinas PU (pekerjaan umum, Red) sudah merespons. Semoga bisa segera jadi supaya anak-anak bisa sekolah dengan tenang,’’ ucapnya.
Plt Kepala Pusat Informasi dan Humas (PIH) Kemendikbud Ari Santoso menuturkan, Kemendikbud sudah membuka laman atau website pengaduan terhadap akses maut siswa menuju sekolah. Laman itu adalah sahabat.kemdikbud.go.id
Sayangnya, sejak dibuka Maret lalu, belum ada satu pun pengaduan akses berbahaya yang dilalui siswa menuju sekolah. Pembukaan website tersebut berawal dari kasus jembatan putus di Kabupaten Lebak, Banten. Ironisnya, saat putus, jembatan itu sedang dilalui belasan siswa yang berangkat sekolah. Akhirnya, siswa berjatuhan ke sungai.
’’Kemendikbud berharap masyarakat melaporkan kasus-kasus akses ke sekolah yang berbahaya,’’ kata dia. Pria yang juga menjabat sebagai kepala Pusat Teknologi dan Komunikasi Pendidikan Kemendikbud itu menyatakan, pihaknya memiliki keterbatasan untuk memeriksa satu per satu akses menuju sekolah di Indonesia.
”Untuk itu, kita tegaskan Kemendikbud membutuhkan bantuan informasi dari masyarakat,’’ jelas dia.
Ari mengatakan, untuk kasus akses menuju sekolah yang berbahaya itu, Kemendikbud hanya bertindak sebagai pengepul laporan. Sebab, urusan infrastruktur transportasi merupakan kewenangan dinas pekerjaan umum atau Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
”Kami terbatasi oleh anggaran. Tidak ada anggaran di Kemendikbud untuk membangun atau memperbaiki jembatan,’’ jelas dia.
Meski begitu, Ari mengatakan, setiap pengaduan yang masuk langsung diteruskan ke lembaga atau instansi terkait. Kemendikbud juga mendorong instansi itu segera membenahi infrastruktur demi keselamatan siswa menuju sekolah.
Ketika terjadi kasus jembatan putus di Banten Maret lalu, Mendikbud Anies mengatakan, negara harus hadir menyelesaikan masalah. Instansi yang memiliki anggaran untuk memperbaiki infrastruktur jalan dan jembatan harus segera bergerak.
’’Kita salut melihat anak-anak berani melintasi jalan berisiko. Tetapi, risiko seperti ini tidak boleh terjadi,’’ jelas dia. Pemerintah harus menjamin keamanan dan keselamatan siswa selama menuju dan pulang dari sekolah. Anies berpesan kepada sekolah, guru, atau orang tua untuk melaporkan akses maut menuju sekolah. Dengan demikian, bisa segera dilakukan perbaikan supaya tidak ramai hujatan ketika korban sudah berjatuhan.
Sementara itu, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) enggan dikambinghitamkan atas buruknya seluruh infrastruktur di daerah. Menurut Kepala Pusat Komunikasi (Kapuskom) Kementerian PUPR Joko Mursito, kewenangan pembangunan infrastruktur di daerah telah dibagi-bagi.
Untuk masalah jalan, misalnya, Kementerian PUPR bertugas mengurusi jalan nasional. Jalan nasional merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan antara ibu kota provinsi dan jalan strategis nasional serta jalan tol.
Sementara itu, jalan yang menghubungkan ibu kota provinsi dengan kabupaten/kota (jalan provinsi) merupakan tanggung jawab pemerintah provinsi (pemprov). Begitu pula pembangunan jalan kabupaten/kota yang merupakan tugas pemerintah kabupaten/kota (pemkab). ”Hal itu sama untuk masalah jembatan,” ungkap Joko dalam pesan singkatnya.
Joko mengatakan, setiap pemprov dan pemkab telah dibekali dana untuk melakukan pembangunan tersebut. Dana alokasi khusus (DAK) itu diberikan setiap tahun untuk perawatan maupun pembangunan infrastruktur daerah.
Meski demikian, dia mengakui, dana tersebut sering dikeluhkan tidak mencukupi. Sayangnya, saat ditanya besaran dana tersebut, Joko tidak menyebutkan. ”Ya, memang kurang kemampuan keuangan kita kan?” ungkapnya.
source : JPNN
0 komentar: